Rabu, 09 Maret 2016

HIDUP dan MATI (3)

Chapter 3

Meskipun usianya masih sangat muda. Sungguh sudah begitu banyak hal hebat yang telah ia lewati. Ia tak pernah gentar, juga tak sedikitpun ia berpikir untuk menyerah.

Sesungguhnya ia sadar bahwa tak ada yang dapat di salahkan atas apa yang ia lalui. Yang ia tahu itulah takdirnya. Jiwa kokoh bagaikan bentangan tembok cina dan hati yang keras seperti batu, menjadi pertahanan sempurnanya dalam melalu segala tekanan kehidupan.

19 tahun yang lalu, sebelum ia hidup sebatang kara. Bisa di katakan, apa yang ia inginkan dapat terpenuhi dengan harta orang tuanya. Keluarga bahagia, dan damai. Apa yang tak ia miliki. Kehormatan, betapa terhormatnya keluarga mereka. Kedermawanaan dan kebaikan orang tuanya kepada siapapun menjadi pertimbangan bagi orang-orang di sekitarnya.

Saat itu, di satu sore yang cerah. Senja melukiskan sinarnya di kaki-kaki langit, para pekerja memadati jalanan. Laki-laki 19 tahun beserta ayah angkatnya berada di salah satu puncak gedung pencakar langit. Saat itu, laki-laki 19 tahun berusia 13 tahun.

“kinan, coba kau perhatikan seluruh kota ini, kira-kira ada berapa jumlah penduduk di kota ini. Yang pastinya tidak mungkin kau menghitungnya disini. Tapi ada satu hal yang pasti, diantara mereka masing-masing memiliki kisah hidupnya sendiri. Rasa sakit yang berbeda, maupun cara mengobatinya tak ada yang sama. Kinan, kita hidup tentram seperti saat ini, patutnya kita bersyukur. Masih banyak orang di luar sana yang bahkan, hanya mencari sesuap nasi saja susahnya minta ampun” nasehat singkat sang ayah kepada kinan.

#ODOP2
#Onedayonepost_selasa

6 komentar: