Jumat, 11 Maret 2016

HIDUP dan MATI (6)

Chapter 6

Bagi kinan, sangat sulit untuk mengingat kembali peristiwa itu. Semua terjadi begitu saja, di luar nalarnya. Meskipun begitu, ada hal yang tak bisa ia lupakan di gedung itu. Beberapa jam sebelum robohnya tangga lantai 6. Hal yang tak akan pernah ia lupakan, di saat ia dengan pamannya minum teh sambil ngobrol. Suasana saat itu, seketika menjadi tak terkatakan. Setelah paman kinan mengaku sebagai ayah kandungnya.

“Nak..?” paman kinan berucap.

Dalam hati kinan “Nak? Hei apa
maksudnya?”

“Nak, kinan. Sesungguhnya, aku yang selalu kau panggil paman, adalah ayah kandungmu. Aku selalu memperhatikan perkembangan mu. Namun, sungguh sangat aku sayangkan, aku hanya bisa melihat dan tak dapat mendorong perkembanganmu. Andai saja saat itu tak terjadi, mungkin kehidupan mu tak se bahagia saat ini kinan.”

Bungkam. Kinan terdiam seribu bahasa, tak mampu berkomentar apapun. Matanya berkaca-kaca. Ia tak kuasa mendengar apa yang di ceritakan pamannya, yang baru saja mengaku sebagai ayahnya. 

“hehe.. sudahlah, lupakan. Aku mengerti, tak mudah bagimu percaya begitu saja.” Ayah kandungnya mencoba memecah kebungkaman kinan.

Dengan kepala tertunduk, bagaikan mawar yang layu, kinan bergumam.

Tidak.. ayah kandung kinan sudah salah mengerti. Dengan ini, cerita-cerita yang ia dengar dari orang sekitar menjadi sempurna atas pengakuannya.

Tentu saja kinan percaya. Yang membuatnya tertunduk layu, hanyalah waktu yang kurang tepat saat itu.

“Apa yang terjadi saat itu?” kebungkaman kinan, terpecah

Kini giliran ayah kandungnya yang bungkam seribu bahasa. Bukannya ia tak bisa menjawab, hanya saja sulit baginya untuk bercerita. Juga, mungkin saja akan melukai hati kinan.

#Onedayonepost(jum'at)

1 komentar:

  1. Huhuhu, ini si kinan merasa terbuang?

    Duh, kasian, kasian.
    Sulit menerima kenyataan.
    Cedih,

    BalasHapus