Jumat, 07 Oktober 2016

Mahasiswa, Warga, dan Polisi

Oleh : Makhluk Abstrak

MAHASISWA, WARGA, DAN POLISI
“Hei, hei... kau sudah baca berita kampus hari ini?” Rangga dengan wajah yang terlihat sedikit terkejut, bertanya kepada ilyas.
“belum, Ada berita heboh?”
“ini, coba kau baca!” Rangga memberikan sebuah buletin kampus kepada ilyas.
Ilyas yang begitu penasaran, langsung membaca berita yang Rangga maksudkan. “seorang mahasiswa semester 7 tewas  karena cedera serius di bagian kepala akibat terkena lemparan batu oleh warga saat demo yang digelar para mahasasiwa tidak kondusif dan tidak terkontrol lagi. Sebelumnya demo yang digelar di depan kampus, berjalan aman dan terkendali. Dengan membakar ban di tengah jalan dan menutup sebagian badan jalan. Mereka menuntut agar pemerintah dapat lebih tegas lagi dalam memberantas koruptor. Situasi yang kondusif dan terkendali berlangsung sekitar 2 jam, dan selama 2 jam pula, sebagian badan jalan yang ditutup, lumpuh total. Hingga akhirnya polisi datang mencoba untuk berkompromi dengan para mahasiswa agar kiranya dapat bubar, karena melihat kemacetan yang sudah sangat panjang. Tetapi para mahasiswa aktivis itu menolak. Pihak kepolisian tetap mencoba untuk bicara secara dewasa dengan pihak mahasiswa, agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namun  tetap saja para mahasiswa itu menolak untuk dibubarkan. Pada akhirnya pihak kepolisian memutuskan untuk membubarkan secara paksa. Pasukan kepolisian yang berseragam dan bersenjata lengkap mulai melemparkan gas air mata ke arah para mahasiswa yang berkerumun di jalan. Sontak, meraka langsung berhamburan. Bukannya bubar, mereka mencoba melawan pihak kepolisian dengan melempar batu. Namun itu bukanlah masalah bagi pihak kepolisian yang menggunakan tameng khusus. Masalah baru pun muncul. Para mahasiswa yang melempar batu, tidak hanya mengenai pihak kepolisian, batu-batu itu juga mengenai warga sipil. Tak terima, warga pun membalas melempar, dan terjadilah peperangan antara mahasiswa dengan kepolisian dan warga.” Ilyas yang telah selesai membaca berita, ekspresi wajahnya langsung berubah.
“Bagaimana pendapatmu tentang peristiwa itu, Ilyas?”
“Kalau menurutku, para mahasiswa yang terlibat dalam peristiwa kemarin itu, masih bersifat kekanak-kanakan. Mereka melakukan aksi, mengatasnamakan rakyat, Membela kedaulatan rakyat, Membela hak rakyat. Setalah membaca berita tadi, aku berpikir mereka para mahasiswa yang menyebut diri mereka aktivis, malah mengorbankan hak-hak rakyat dan mengorbankan kedamaian hanya untuk memenuhi kebutuhan ego mereka. Aku pun yakin, ketika meraka para mahasiswa yang berjuang melawan koruptor dalam pemerintahan, saat tiba waktu ujian akhir semester kebanyakan dari mereka menjelma menjadi koruptor dalam kelas. Mereka menghalalkan segala cara agar mendapatkan nilai yang memuaskan. Termasuk dengan menyontek! Namun, mereka tak menyadari itu. Mungkin menurut mereka istilah koruptor hanya ada dalam badan pemerintahan, dan yang dapat dikatakan korupsi, hanya dengan uang saja. Yahh, tentu saja mereka tak menyadari bahwa mereka juga koruptor. Mereka masih “anak-anak” kok. mana bisa mereka memahami hal seperti itu. Aku pribadi tak heran dengan hal itu. Kebanyakan dari mereka para mahasiswa, hanya memikirkan nilai! Mereka masuk kelas, ikut Mid, dan kemudian ikut ujian akhkir semester. Yah, hanya itu. Meraka sama sekali tak memahami apa yang telah mereka terima. Mungkin mereka belajar, namun setelah ujian, semua yang telah mereka pelajari  dilupakan. Jika kebanyakan dari mahasiswa tetap seperti itu, maka, mungkin mereka akan menjadi generasi koruptor masa depan, dengan akhlak yang bobrok.” Ilyas yang cukup memahami berita yang ia baca, langsung menjelaskan pemikirannya kepada Rangga.
“Lalu, soal mahasiswa yang menjadi korban?” Rangga kembali bertanya.
“tentu saja ia telah mati konyol! Mereka berjuang untuk rakyat(katanya), malah dibunuh oleh rakyat. Di tambah lagi, orang tuanya pasti sangat terpukul akibat kepergiannya.” Ilyas juga memahami situasi seperti itu.

***

mereka pun mengakhiri obrolan hangatnya, dan bangkit dari duduk mereka, lantas berjalan di bawah teriknya matahari, di tengah hiruk-pikuknya mahasiswa.
“Hei, Rangga. Sepertinya kita terlambat” Ilyas mulai berlari-lari kecil menuju kelasnya
“Hari ini kita ujian” Rangga yang begitu tenang mencoba membuat Ilyas termakan kata-katanya sendiri.
Meraka pun tiba di depan kelas, dan betul yang dikatakan Ilyas, mereka benar-benar terlambat.
“Assalamualaikum” Rangga berdiri di pintu masuk kelas, dan membuat seluruh kepala yang tertunduk di ruangan itu, memperhatikan Rangga.
“Wa’alaikum salam. Kenapa kalian terlambat?” Salah satu pengawas ujian menjawab salam Rangga, dan bertaya dengan nada yang cukup tinggi.
“Eee... anu, bu’. Tadi macet di jalan. Karna ada aksi. Hari ini kan “HARI ANTI KORUPSI” Rangga sempat kebingungan menjawab pertanyaan beberapa saat.
“Masuk lah, cepat.” Pengawas ujian itu memerintahkan mereka berdua masuk, sambil menyodorkan kertas ujian dan lembar jawaban.
Hari Anti Korupsi benar-benar telah menyelamatkan mereka.
Kemudian mereka mulai duduk dan mengerjakan soal. Ruang kelas sungguh hening. Tak ada suara apapun. Semua sibuk mengerjakan soal mereka. Sedangkan pengawas sibuk mengobrol.
Ruangan mungkin hening dan tak terdengar suara apapun, tapi ketika dilihat, banyak kepala yang menoleh kiri-kanan dan menengok belakang. Mahasiswa yang lainnya sibuk berkoar-koar di depan sana menyuarakan anti korupsi, sedangkan mereka sibuk korupsi(menyontek) di kelas
Rangga memperhatikan sekelilingnya, dari tempat yang paling belakang. Ia mendapati banyak teman-temannya menjelma menjadi “Siluman tikus”.
Rangga hanya dapat kecewa melihatnya.

3 komentar:

  1. Saya jg kurang setuju dg aksi mahasiswa yg seperti itu.

    BalasHapus
  2. Maka dari itu, saya tidak setuju jika tugas dosen hanya transfer of knowledge saja, karena mahasiswa dianggap berbeda dengan siswa. Penanaman nilai moral perlu ditekankan kepada mahasiswa.

    BalasHapus